27-11-2019 12:59
Art Music Today
Oleh Nurul Hanafi *
I
Dalam lima bulan ini, ini saya mendengarkan musik guqin (baca: gu - chin - siter Cina kuno bersenar tujuh, atau biasa cukup disebut 'qin' saja) dan merasa cukup terkesan dengan suasana yang ditimbulkannya.
Qin dimainkan secara solo instrumental, dan kadang kesannya seperti mendengar musik gitar. Kalau kita mendengarkan erhu dan dizi, melodinya bisa mudah kita tangkap dan tirukan, tapi tidak demikian halnya dengan qin. Melodi qin bersifat fragmental, discontinue, dan rasanya seolah tidak ada perulangan melodi. Tempo permainan terus menerus datar dari awal sampai akhir sehingga strukturnya sukar ditangkap. Efek lainnya adalah bahwa satu karya dengan karya lain jadi sangat sulit dibedakan. Tapi secara keseluruhan saya merasa nyaman dan betah karena suasana musiknya hangat.
Musik qin memang kontemplatif, tapi dalam artian tenang dan ringan. Sebagai perbandingan, musik shakuhachi bersifat kontemplatif juga, tapi lebih murung dan menekan. Saya harus menemukan suasana hati khusus untuk bisa nyaman mendengarkan shakuhachi dalam waktu lama, tapi tidak demikian halnya dengan musik qin.
Jika hendak kita maknai secara simbolis, permainan qin menggambarkan hidup seseorang yang menjauhi hiruk pikuk dunia, tak lagi mempunyai keterlibatan, tapi masih mengalami persinggungan dengannya. Sedangkan dalam permainan shakuhachi, kita merasakan hidup seseorang yang telah sepenuhnya mengasingkan diri.
I I
Selama lebih dari dua ribu tahun, qin menjadi instrumen musik yang identik dengan kaum terpelajar dan sastrawan di Tiongkok, sebagai media pengembangan jiwa. Alat musik ini dimainkan pula oleh Konfusius, penyair Li Bai, dan Bai Juyi dari dinasti Tang, bahkan Kaisar Huizong dari dinasti Sung. Suaranya yang lembut (senar dari benang-benang sutera yang dipilin) menghasilkan efek subtil dan suasana tenang.
Sebagai sebuah instrumen musik pengembangan jiwa, qin lebih berorientasi pada pemain daripada pendengar. Karya-karya untuk alat musik ini memang tidak diniatkan untuk dipergelarkan di hadapan publik, tapi cocok dimainkan untuk menjamu beberapa orang tamu yang juga adalah teman dekat di sebuah ruang sempit, dan seperti itulah tradisinya. Ada pula kebiasaan memainkannya di hadapan panorama indah.
Sebagai alat musik kuno yang sukar dimainkan, kerumitannya menciptakan identitas eksklusif di tengah masyarakat, dan itu terus dipertahankan hingga dinasti terakhir. Ada teori menarik tentang pemertahanan identitas terpelajar sehubungan dengan alat musik ini. Pada zaman dinasti Tang (618-907), Chang'an dan Luoyang telah menjadi kota kosmopolit, melting pot bagi berbagai macam bangsa dan budaya luar. Buddhism mulai berkembang, juga Zoroaster, Islam, dan Kristenitas, bahkan menciptakan sinkretisme. Maka sifat eksklusif di balik identitas terpelajar itu menjadi semacam benteng yang kemudian diperketat untuk menunjukkan keaslian budaya, yang tentu saja sarat dengan faham Taoism. Entah benar atau tidak, ini sebuah teori yang menarik.
Seorang peneliti Barat, James Watt, menulis: bisa dibilang, ikatan kuat antara kaum sastrawan dengan qin telah memastikan lestarinya alat musik ini sampai zaman dinasti Qing, tapi menurunnya kehidupan sastra juga berarti menurunnya seni bermain qin.
III
Kadang qin terdengar seperti piano, di saat lain ia bisa terdengar seperti gitar ; tapi lebih sering tidak mirip keduanya. Tenang dan pelan dalam membeberkan diri, musik qin menciptakan lanskap tanpa cerita, sementara kesan sentuhnya di telinga lembut lagi hangat, namun di saat bersamaan ia tidak emosional dan tanpa sentimentalitas. Tidak ada jenis musik lain yang menampung ketujuh karakteristik itu - atau bahkan lebih, jika saya lebih peka lagi.
Secara struktur, musik qin tidak mempunyai desain yang baku, tanpa arah tertentu, mengambang dengan lena dalam kenyamanan akan diri sendiri. Musik ini termasuk musik elegan (adiluhung), namun atmosfer yang ditimbulkannya lebih merupakan posisi tengah antara kekhidmatan dan relaksasi. Ia memang mempunyai semacam kekhidmatan, tapi tidak mengundang kita untuk memusatkan perhatian penuh padanya. Ia mempunyai pula semacam sifat relaksasi, namun nuansa keseluruhannya penuh pengendalian diri (tanpa menunjukkan kesadaran bahwa pengendalian diri itu ada).
Melodi qin bersifat spasial, dalam arti bahwa mereka tidak memusatkan diri pada titik tertentu dalam sebuah lanskap musikal. Itu bisa dipahami pula sebagai alasan kenapa musik ini nyaris tanpa alur naratif atau perkembangan dramatik, kecuali dalam beberapa karya tertentu saja.
John Thompson, musikolog Amerika yang merupakan pakar musik ini, sepakat dengan ungkapan Robert Van Gulik (diplomat-seniman) bahwa timbre adalah sesuatu yang paling penting dalam musik ini, dan ada sangat banyak kemungkinan modifikasi warna/timbre bisa muncul dari sebuah nada, tergantung pada bagaimana cara atau posisi jari tangan saat menyentuh senar.
Menepi beberapa saat untuk merenungkan ungkapan itu, saya pikir jika timbre atau warna nada adalah sesuatu yang utama dalam sejarah musik qin yang telah berusia lebih dari dua ribu tahun ini, di saat bersamaan saya dapati betapa timbre itu pulalah sesuatu yang tidak dimiliki oleh musik klasik Barat. Dan ketika akhirnya musik klasik Barat 'punya' seorang komponis yang karya-karyanya menitikberatkan pada timbre, ternyata penyumbang kemajuan itu adalah seorang komponis Timur bernama Takemitsu Toru.
IV
Kini, setelah menyimak musik ini secara intens selama lima bulan, saya rasa memang yang membikin musik qin menarik bagi saya adalah bahwa ia mengedepankan suasana dan tidak bersifat naratif. Suasana ini bukanlah murni suasana hati, namun merupakan keseimbangan antara suasana hati dan suasana fisik. Pemain mengendalikan suasana hatinya, sehingga suasana fisik masuk ke dalam jiwa, dan suasana psikis pun tinggal menjadi bagian saja yang tidak berkuasa penuh dan dayanya teredam. Tapi di saat bersamaan, ia tidak merasakan dirinya teredam, karena nyaman dengan kekangan itu, dan bisa berbuat banyak di dalamnya tanpa adanya ironi. Ia terkekang, namun mempunyai wilayah yang sekaligus pula sangat luas.
Karena terkendalinya suasana hati, bagi pendengar terasa adanya jarak antara dirinya dengan musik atau antara musik dengan perasaan dalam dirinya. Namun jarak itu pun juga tidak jauh, malah sebaliknya. Jarak itu dekat namun tak sepenuhnya dekat.
Musik qin bukanlah tentang isi pikiran. Atau mungkin lebih tepatnya ia tidak menganggap penting isi pikirannya sendiri. Atau, kalau pun ia tentang memikirkan sesuatu, musik ini lebih bersifat menyimpan sesuatu itu ketimbang menyampaikannya. Tak ada sesuatu yang dimintanya agar kita ingat (melodi). Tak ada sesuatu yang dimintanya agar kita perhatikan. Ia tidak merasa atau menunjukkan rasa bahwa kehadirannya adalah sesuatu yang penting.
Secara keseluruhan, sifat sifat musik ini akrab dengan segala yang saya idealkan dalam seni dan penciptaan seni.
-----
* Nurul Hanafi menulis dan menerjemahkan karya sastra, serta seorang penikmat musik. Tinggal di Bantul, Yogyakarta.
Foto: https://events.umich.edu/event/8624
Musisi dalam foto: Shuishan Yu
Contoh yang bisa didengarkan:
https://www.youtube.com/watch?v=Tlsev6ZepqE
11 x dilihat
944 x dilihat
823 x dilihat
1278 x dilihat
758 x dilihat
1428 x dilihat
1091 x dilihat
1788 x dilihat
1451 x dilihat
1682 x dilihat
2944 x dilihat
1742 x dilihat
7820 x dilihat
2480 x dilihat
3558 x dilihat
1843 x dilihat
2534 x dilihat
2909 x dilihat
1953 x dilihat
1642 x dilihat
4858 x dilihat
7012 x dilihat
3618 x dilihat
2307 x dilihat
1876 x dilihat
1927 x dilihat
2162 x dilihat
1770 x dilihat
2477 x dilihat
2073 x dilihat
1836 x dilihat
11452 x dilihat
5415 x dilihat
2942 x dilihat
2666 x dilihat
5351 x dilihat
4091 x dilihat
© Copyright 2025 - Art Music Today