30-08-2024 13:05
Art Music Today
Pengantar:
Artikel ini adalah bagian dari notulensi (reportase jurnalistik) program Kemah Budaya Se-Kalimantan Timur yang telah diselenggarakan di Tenggarong, Kutai Kartanegara, 5-8 Agustus 2024 atas dukungan dari Dana Indonesia Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Program Dokumentasi Maestro).
Penulis: Ratu Arifanza
.
Kesenian merupakan bagian penting bagi sejarah Indonesia. Sebuah potongan kejadian yang dituangkan dalam berbagai stigma leluhur kepada muda-mudinya. Tidak jarang waktu mengikis banyaknya makna tersirat dalam perjalanan. Penting bagi si muda belajar mengenal kebudayaan sebab jika bukan si muda, lantas siapa penerus budaya.
Sama halnya dengan kekayaan budaya yang dimiliki Kota Raja, Tenggarong. Budayanya tidak sebatas Tari Jepen yang hingga saat ini populer di kalangan anak muda.
Melainkan adanya sebuah bagian penting dalam pertunjukan seni Tari Jepen yaitu iringannya yang khas dengan penggunaan musik tradisi tingkilan.
Sayangnya, kini tingkilan justru redup termakan arus waktu dan perkembangkan teknologi. Penggunaan rekaman musik menggeser popularitas seni musik tingkilan itu sendiri.
Meski meredup di kalangan awam, tingkilan tetap hidup di dalam hati pecintanya. Salah satu seniman yang masih terikat erat dengan petikan gambusnya, Juwita, merupakan sorotan bagi kalangan muda untuk menimbulkan cinta akan budaya.
Di usianya yang tidak lagi muda, nyatanya tidak mengurangi keterampilan Juwita dalam memainkan alat musik Gambus.
"Nenek itu (Juwita) main Gambus mahir sekali, seperti lekat dengan jarinya," ujar Natalia Sarah Tivana Turangan saat pertama kali menyaksikan maestro musik tingkilan itu.
Pengalaman baru bagi kalangan muda untuk mempelajari sejarah, makna bahkan cara memainkan musik tingkilan saat mengikuti Kemah Budaya Bertemu, Berguru, Meramu selama kurang lebih 4 hari sejak Senin, 5 Agustus 2024 hingga Kamis, 8 Agustus 2024 di Ladaya Tenggarong.
Mempertahankan seni tingkilan merupakan hal yang sangat diinginkan oleh Juwita. Harapannya besar kepada anak-anaknya untuk meneruskan seni tingkilan. Namun, Juwita sendiri mengatakan keturunannya tidak mahir memainkan Gambus dan hanya cenderung pada dunia tarik suara.
Meski besar berharap adanya darah keturunan untuk meneruskan budaya ini, Juwita tidak keberatan menerima kehadiran orang lain untuk ikut melestarikan tingkilan. Bahkan dirinya sangat terbuka dengan adanya kalangan muda yang memerhatikan caranya memetik Gambus, malam itu.
Art Music Today yang memberikan kesempatan kalangan muda bertemu dengan seniman tingkilan itu juga memberikan ruang ekspresi untuk menampilkan pertunjukan dengan adanya unsur tingkilan.
Menariknya, 12 kalangan muda yang terbagi menjadi 3 kelompok itu memiliki kreativitas yang luar biasa.
Kelompok pertama, dengan beranggotakan 3 orang perempuan dan 1 orang laki-laki cenderung menonjolkan adanya ikatan emosional di dalam karya yang dipertontonkannya. Pertunjukan seni tingkilan yang biasanya bersahutan pantun spontan dikreasikan dengan bersahut-sahutan ungkapan rasa emosional dari masing-masing anggota kelompok yang diberi nama "Cantik" ini.
Sebagai kalangan Gen Z yang sering disibukkan dengan berbagai tanggung jawabnya memikul masa depan bagi dirinya, orang tuanya, bahkan bangsa yang besar ini sering kali tawa dan duka menyapa. Bagi mereka yang tidak pandai mengekspresikan diri, kelompok cantik memberikan alternatif menuangkan emosional sekaligus menghidupkan budaya yang telah ditelan kemajuan zaman.
"Terinspirasi Film Inside Out, memiliki banyak emosi di dalamnya. Marah, sedih, apapunnya kegelisahan yang dirasakan," sebut Eka Aprilia.
Penampilan kelompok cantik pada Kamis malam itu sungguh cantik. Tanpa menggunakan Gambus, justru menggunakan biola dan teknik looping yang menghidupkan musik berulang dengan sahut-sahutan rasa di dalamnya.
Kelompok lainnya, Santri. Dengan dipenuhi pria di dalamnya, menampilkan gabungan alat musik Gambus, Gendang, Beduk dan vokal sebagai pembawa tarsul di dalamnya.
Dengan mengusung tema "Ngonjon di Huma" ke empat pria ini berhasil menyalurkan hiburan menenangkan bagi siapapun yang hendak menenggelamkan diri menuju alam mimpi.
"Terinspirasi dari gabungan ngonjon (menimang anak) dengan menghibur diri dari pekerjaan," kata Muhammad Ferdy Ramadhanur.
Juwita sendiri sempat menyebutkan, tingkilan awalnya bermula dari kreativitas masyarakat usai melakukan penanaman padi. Setelah menanam, masyarakat biasa menghibur diri dengan menandungkan lagu-lagu abstrak yang tidak berpatok pada notasi pemusik pada umumnya.
Kelompok Santri mengangkat cerita rakyat yang dibawakan Juwita untuk menjadi inspirasi bersantai usai bekerja. Namun, adanya ngonjon dalam karya itu terinspirasi dari gambaran nenek yang menimang bayi dengan nyanyian ala tetua kala itu.
Karya ini menjadi sebuah inspirasi untuk mengembangkan seni tingkilan dari dasar yaitu menimang bayi. Mengajarkan kesenian sejak dini pada sang buah hati meski hanya melalui pendengaran yang rancu.
Kelompok terakhir, Jelmu. Namanya yang unik, diambil dari bahasa Kutai dengan makna penyebutan pohon menggeris, yaitu pohon tempat biasanya madu hutan bersarang.
"Filosofi yang diambil dari nama pohon tersebut agar harapan dan keinginan yang akan dicapai setinggi pohon tersebut," papar Faisal Erlangga.
Penampilan Kelompok Jelmu menghadirkan tema kesedihan dan kehampaan. Dengan membawakan pantun dan lagu berjudul Pupus Harapan yang berisi curahan hati dari seseorang. Dimana harapan cintanya sudah habis dengan berbagai penyesalannya.
"Lagu ini kami terjemahkan ke dalam Puisi dan Tarian
Tujuannya agar penonton bisa menerjemahkan melalui berbagai visual, contohnya gerakan tarian, syair lagu, dan puisi. Sehingga pesan yang disampaikan jadi lebih jelas," jelas Delilah Swara Ababiel.
Iringan dalam penampilan Kelompok Jelmu menggunakan 2 alat musik berupa Gambus Kutai dan Keyboard.
Sebelum penutupan Kemah Budaya pada Kamis, 8 Agustus 2024, seluruh peserta berkesempatan duduk bersama dan berdiskusi.
Peserta kemah yang berlatar mahasiswa Etnomusikologi tentu tidak asing dengan adanya gambus dan pola pertunjukkan yang diperuntukkan tiba-tiba. Namun, bagi peserta yang datang dari jurusan lainnya seperti Ekonomi tentu ini menjadi sebuah pengalaman yang menantang.
Kesempatan tampil di depan khalayak tidak hanya menegangkan, melainkan juga mengesankan. Pertemuan ini juga menjadi upaya mendorong cinta budaya bagi kalangan muda untuk terus melestarikan seni tingkilan
838 x dilihat
685 x dilihat
1221 x dilihat
711 x dilihat
1328 x dilihat
1055 x dilihat
1751 x dilihat
1399 x dilihat
1646 x dilihat
2886 x dilihat
1706 x dilihat
7730 x dilihat
2440 x dilihat
3518 x dilihat
1801 x dilihat
2489 x dilihat
2875 x dilihat
1919 x dilihat
1591 x dilihat
4813 x dilihat
6957 x dilihat
3544 x dilihat
2274 x dilihat
1843 x dilihat
1891 x dilihat
2119 x dilihat
1736 x dilihat
2442 x dilihat
2029 x dilihat
1793 x dilihat
11380 x dilihat
5313 x dilihat
2893 x dilihat
2632 x dilihat
5288 x dilihat
4056 x dilihat
3360 x dilihat
© Copyright 2025 - Art Music Today