Dewa Alit dan Semangat Baru Gong Kebyar

30-05-2018 21:09

Art Music Today


Art Music Today Image

 

 

 

Oleh: I Putu Arya Deva Suryanegara

Dewa Alit mementaskan karya-karya terkininya bertajuk “Kebyar Baru” di Bentara Budaya Bali (25/5). Pementasan ini berhasil mengembalikan semangat kebyar pada gamelan Gong Kebyar. Dinilai oleh Dewa Alit, Gamelan Gong Kebyar kini mulai kehilangan arah karena mulai masuk ke ranah musik populer. “Sungguh berbeda dengan awalnya yang revolusioner,” tegasnya.   

           

Meninjau Fenomena Kebyar di Bali

            Colin McPhee dalam bukunya Music in Bali A Study Form and Instrumental Organization in Balinese Orchestral Music mengatakan bahwa gamalan Gong Kebyar muncul pertama kali di Bali Utara sekitar tahun 1915, dan sejak itu gamelan tersebut mulai berkembang Bali. Faktor-faktor yang membentuk kesuburan Gong Kebyar menurut Pande Made Sukerta di antaranya adanya ruang kreativitas, fleksibel dalam penyajian maupun fungsinya, dan adanya tradisi mebarung di Bali Utara.

            Mengacu pada tulisan I Nyoman Cahya, mebarung adalah warisan tradisi masyarakat Buleleng yang memiliki pengaruh pada kesenian atau khususnya gamelan Bali. Hal itu dilakukan dengan menampilkan dua grup gamelan pada satu acara, dan saling menampilkan keunggulan virtuositas, serta melahirkan karya-karya baru yang variatif. Seperti dua kelompok gamelan di Bali Utara yang terkenal, yakni Dangin Enjung, yang dimotori oleh I Gede Manik (alm) dari Desa Jagaraga, dan Dauh Enjung, yang dimotori oleh I Ketut Merdana (alm) dari Desa Kedis. Kedua kelompok tersebut saling berlomba dalam menciptakan karya baru.

            Fenomena tersebut berdampak pada gamelan Gong Kebyar di Bali Selatan, yang salah satunya dimotori oleh I Wayan Beratha (alm); dikenal dengan kebyar gaya Bali Selatan. Selain itu, gaya Bali Utara dan Bali Selatan juga dipercaya mengalami interaksi musikal antara I Gede Manik dan I Wayan Beratha; yang juga disebut sebagai “jembatan emas”.

            Mebarung terhenti sejak meletusnya peristiwa tragedi nasional dan perseteruan politik di Indonesia pada tanggal 30 September 1965, yang sekaligus sebagai puncak runtuhnya tradisi mebarung di Bali Utara. Setelah beberapa tahun semenjak orde baru, didirikan Listibiya untuk kembali menghidupkan tradisi mebarung pada gamelan Gong Kebyar, dan beberapa tahun kemudian tradisi mebarung dilanjutkan ke ajang Pesta Kesenian Bali (PKB).

            Semenjak adanya PKB, mebarung gamelan Gong Kebyar mengalami perubahan, karena mulai adanya unsur kompetitif yang memilih salah satu kelompok sebagai juara. Maka yang sering menjadi pemenang (yakni  gaya Bali Selatan) akan menjadi acuan atau tolak ukur kesuksesan dalam penyajian atau komposisi. Hal itu menurut Cahya, membuat beberapa kelompok di Bali Utara mulai mengikuti gaya-gaya Bali Selatan. Hingga kini penciptaan karya baru sudah dibingkai dalam sebuah kriteria atau penggolongan bentuk, seperti tabuh kreasi yang sebagian besar strukturnya menggunakan Tri Angga (pengawit, pengawak atau gegenderan, dan pengecet), dan tabuh lelambatan; strukturnya sudah ditentukan dalam lelambatan pegongan, dan sebagainya. Maka komposisi dari karya-karya ciptaan baru dibatasi oleh kreteria tersebut, walaupun pada tahun 1995, Wayan Gede Yudane dengan berani membuat komposisi bertajuk “Lebur Seketi” yang inkonvensional dari aturan sebelumnya.

            Selain pada ajang PKB, gamelan Gong Kebyar juga sering beralih fungsi untuk memainkan karya-karya gamelan lain. Menurut saya itu dilakukan karena banyaknya gamelan Gong Kebyar di Bali, dan tuntutan fungsional masyarakat untuk gamelan tesebut.

            Menggaris-bawahi pendapat Dewa Alit mengenai komposisi dan spirit gamelan Gong Kebyar yang saat ini mulai mengerucut, bisa jadi disebabkan karena adanya beberapa bentuk atau aturan yang mengikat penciptaan karya musik baru. Berbeda halnya dengan lahirnya kebyar Bali Utara dan Bali Selatan yang merupakan semangat penciptaan tanpa batas dari masing-masing komposer.

            Pernyataan yang mendukung, Michael Tenzer, dalam Gamelan Gong Kebyar The Art of Twentieth-Century Balinese Music mengatakan pengertian kebyar dalam gamelan ini cenderung mengarah pada komposisi musik baru (new) pada kebyar. Maka pendapat Dewa Alit menandakan bahwa ia sangat melek ilmu pengetahuan dan memiliki pemikiran luas. Itu  menyadarkan saya bagaimana sebenarnya esensi kebyar pada gamelan Gong Kebyar yang saat ini sudah tidak pada ranahnya. Seperti katanya, “yang baru itu adalah musiknya”.

Namun demikian, catatan ini hanyalah sebagian kecil dari peristiwa penting dari fenomena umum kebyar yang ada di Bali, dan tidak dapat digeneralisasi.

Komposisi Dewa Alit

            Pada malam itu, Dewa Alit menampilkan lima karya baru ciptaannya, yakni Caru Wara (2005), Tanah Sedang Bicara (2014), Kedituan (2017), GeringSing (2005), dan Somewhere There (2017). Karya itu akan dipentaskan juga pada acara International Gamelan Festival yang diselenggarakan di Münchner Stadtmuseums, Munich, Jerman, bulan Juni mendatang.

             Menurut pengamatan saya, karya Dewa Alit juga dirangsang oleh kebyar gaya Bali Utara dan Bali Selatan, dan itu menjadi satu di dalam dirinya untuk melahirkan kebyar baru. Itu dilihat dari karya-karya yang dipentaskan, di antaranya Caru Wara dan GeringSing; komposisi, ritme, tempo, dinamika, dan fungsi masing-masing instrumen sangat inkonvensional di telinga pendengar. 

            Pertama, Dewa Alit menampilkan karya Caru Wara; Caru berarti memperindah, mempercantik, atau harmoni, sedangkan Wara adalah waktu perputaran hari-hari berdasarkan kalender Bali. Pada karya ini Dewa Alit nampak ikut bermain instrumen Ugal yang berfungsi sebagai pemberi aba-aba musikal pada karya tersebut. Ia juga memasukkan instrumen Suling pada bagian tengah karya ini. Layaknya pada bagian yang sering disebut bapang pada tabuh kreasi pada umumnya. Namun ia sangat kreatif dan mengolahnya dengan ornamentasi yang variatif dan terkesan “aneh” bila didengar. Itulah salah satu alasan saya bahwa mungkin saja terdapat rangsangan dari kebyar sebelumnya.

            Kedua, Ia menampilkan karya yang hanya menggunakan instrumen ber-pencon, yakni diberi tajuk Tanah Sedang Bicara. Karya itu didedikasikan untuk mengingatkan kita terhadap kepedulian akan pentingnya arti hidup, serta dalam hubungannya dengan alam dan kebudayaan yang adiluhung. Pada karya ini terdapat pelbagai jenis ritme dan dinamika yang dimainkan antara instrumen Riong dan Gong, serta menghasilkan interaksi antara kedua instrumen tersebut untuk saling bersahutan. Ketika semua instrumen dimainkan bersamaan, menghasilkan sebuah harmoni  unik dari timbre dan tangga nada yang digunakan.

            Ketiga, menampilkan karya yang bertajuk Kedituan; artinya “di sana” atau menunjukan tempat yang tidak diketahui manusia, seperti surga untuk orang baik, dan neraka untuk orang jahat. Dua hal yang saling berlawanan, namun berada pada suatu tempat yang sama, adalah filosofi sekaligus konsep dasar atau landasan ide dalam penyusunan komposisi ini secara kontekstual. Komposisi ini mulanya dibuat untuk Gamelan Salukat yang memiliki sebelas nada, namun kini  diaransemen kembali ke gamelan kebyar lima nada. Menurut Dewa Alit, hal yang menarik dari aransemen tersebut adalah perhitungan harmoni dari sebelas nada ke lima nada yang dapat memunculkan harmoni baru dari sebelumnya. Jujur saja, bagi saya hasil aransemen ini tidak kalah menarik dari versi aslinya pada Gamelan Salukat, karena seolah-olah terdapat nada baru dari hasil harmoni tersebut. Ia sangat jago melakukannya.

            Keempat, menampilkan karya tari yang berjudul GringSing, karya komposer Dewa Alit dan koreografer Ida Ayu Arya Satyani. Ide dasarnya palegongan, jauh sebelum berganti nama menjadi Legong Keraton. Ia membuat tariannya terlahir dari konsep musiknya, seperti pacedigdag, ngatih, individual, jalin-menjalin, harmonis, gegedig kendang (pukulan kendang; pada mulanya tari legong memang erat kaitannya dengan aksentuasi kendang).

            Menurut saya, Dewa Alit membuat komposisi gaya palegongan, tapi tetap menggunakan pelbagai unsur pada kebyar atau Gong Kebyar. Seperti masih menggunakan Riong, Kempur, dan dapat dilihat permainan Gangsa pada beberapa bagian memainkan melodi pokok, serta instrumen Riong bermain norot; seperti layaknya karya tabuh Teruna Jaya, Kebyar Legong – gubahan dan ciptaan I Gede Manik. Selain itu terdapat juga aksen-aksen dinamis yang mencerminkan seperti ngebyar.

            Dewa Alit menggunakan instrumen Riong karena tidak ingin menghilangkan satupun esensi penting pada gamelan Gong Kebyar. Melihat pendapat I Ketut Maria (alm) yang menyatakan, bahwa karya tarinya yang berjudul Tari Kebyar Terompong sebelumnya tidak menerima kalau tarinya diisi kata kebyar, karena dalam sajian gending kekebyaran tidak menggunakan instrumen Terompong. Dengan demikian, Dewa Alit telah memahami betul bagaimana unsur kekebyaran tersebut, walaupun pada karya ini ia justru menambahkan instrumen Gender Rambat, namun difungsikan sebagai pengganti dari instrumen melodi yakni Ugal. Itulah salah satu alasan pembaharuan dari karyanya, selain terletak pada komposisinya juga.

            Kelima, Dewa Alit menampilkan karya berjudul Somewhere There, artinya “sesuatu di sana”. Spesifiknya, Ia membuat komposisi dengan menggabungkan gamelan Gong Kebyar dengan instrumen Carillon. Namun pada malam itu ia menggunakan piano sebagai penggantinya. Menurut Dewa Alit, ia ingin mendengar bagaimana gamelan digabungkan dengan Carillon, dan apapun yang terjadi nantinya itulah jawaban dari misteri pertemuan musik diantara kedua kebudayaan yang berbeda.

            Carillon adalah alat musik yang terdiri dari kurang lebih 23 lonceng perunggu (tergantung besar dan kecilnya carillon), bernada kromatik, dan mampu membuat harmoni ketika dimainkan bersama. Lonceng biasanya diletakan di Menara, namun dimainkan dan berbentuk seperti clavier atau keyboard dengan beberapa tuas dan pedal kayu. Jadi musisi biasanya mengepalkan tangan untuk mengayunkan peniup yang beratnya ratusan pon (baca selengkapnya: https://www.britannica.com/art/carillon).

            Pada komposisi itu, Dewa Alit berperan sebagai pengaba yang menghubungkan tempo antara gamelan dan piano. Menurut Putu Septa (musisi), dengan adanya pengaba akan dapat mempermudah menyamakan tempo dengan instrumen piano, namun kesulitannya yakni ketepatan dalam menghitung jatuhnya setiap pola dan tempo yang harus sama dengan pengaba (biasanya tempo dipegang oleh instrumen Kajar). Ia juga menambahkan, proses latihan komposisi ini menggunakan sistem sektoral per-instrumen; setelah semua materi sudah diberikan ke musisi, barulah latihan bersama untuk menunjukkan hubungan antar instrumen. Sebab masing-masing musisi mempunyai cara sendiri untuk mengingat. Itu dipermudah, karena semua komposisi sudah ditulis dengan notasi lengkap, dan mengacu pada ketepatan bermain.

            Pengamatan saya dalam komposisi itu sebagaian besar memainkan time signature (meter) 5/4 atau 5 ketukan dalam satu birama, dan beberapa terdapat 3/4. Ritme yang menggunakan di antaranya polyrhythm, dan menyerupai teknik “Jathis”. Ritmenya terkadang kurang maupun lebih dari 5 ketukan per-birama, namun pada akhirnya ritme itu kembali ke ketukan pertama pada suatu bar.

Salah satu contoh yang terdapat pada karya ini, kurang lebih sebagai berikut:

 

            Pada pengolahan motif demi efektivitas struktur, Dewa Alit menggunakan dan mengolah satu ritme ataupun melodi yang dimainkan oleh gamelan  dan piano secara bergantian. Terdengar juga, ia lebih sering memadukan nada dang pada gamelan dengan frekuensi yang mirip pada piano. Ia membuat harmoni pada gamelan, sehingga perpaduan nada antar instrumen (gamelan dan piano/carillon) menjadi satu kesatuan, walaupun terdapat beberapa jarak frekuensi dari nada tersebut.

Penutup

            Secara keseluruhan menurut pengamatan saya, terdapat berbagai pengolahan bunyi pada gamelan, seperti glissando, dan harmoni. Selain itu ritme dan strukturnya indah untuk didengar maupun dibayangkan, karena perpindahan motif perbagian tidak terlalu cepat, serta mengolah kreatif satu macam melodi atau ritme sebagai pondasinya. Alhasil tidak membosankan bila didengar berulang kali.

            Maka, Dewa Alit memberikan jalan atas apa yang ia pikirkan dan dibuat dalam karyanya. Bukan hanya untuk menambah karya ciptaannya saja, tapi juga dapat membangkitkan rasa ingin tahu pada sesuatu yang belum kita ketahui dari karyanya. Semangat kebyar telah memasuki era yang baru, juga semangat yang baru. 

Cuplikan video: 

https://www.facebook.com/dewa.alit.5/videos/1686498141441265/?t=0

Referensi

Cahya, I Nyoman. 2013. Mabarung Seni Pertunjukan di Daerah Bali Utara. Surakarta: ISI Press   Surakarta.

McPhee, Colin. 1966. Music in Bali A Study Form and Instrumental Organization in Balinese Orchestral Music. New Haven and London: Yale university Press.

Sukerta, Pande Made. 2016. Gong Kebyar yang Tidak Ngebyar. Surakarta: ISI Press.

Tenzer, Michael. 2000. Gamelan Gong Kebyar The Art of Twentieth-Century Balinese Music. Chicago: The University of Chicago Press.

Sinopsis Karya Dewa Alit.

Foto: Gus Santi Utama

5042 x dilihat

Prev Next

Login Member

forgot password?
Kabar Berita
PERJALANAN BUNYI YUDANE

5083 x dilihat