SIM, SURAT IZIN MENGOVER (LAGU), PERLUKAH?

07-04-2022 18:19

Art Music Today


Art Music Today Image

 

Oleh: Panakajaya Hidayatullah

Artikel pendek ini mencoba mengurai sekaligus memahami perasaan musisi hajatan atas pernyataan musikus Ahmad Dhani terkait perizinan dan royalti atas karya-karyanya. Lumayan pelik fakta ini, tapi asik juga kalau kita iseng nguda rasa (curhat) terkait kegelisahan musisi hajatan. Guna mengamankan musisi liar dan ngeyelan macam teman-teman yang saya ceritakan ini, mungkin negara perlu mendirikan Satuan Korps Polisi Musik yang siap menindak dan menilang para musisi hajatan yang kedapatan membawa lagu tanpa SIM (Surat Izin Mengover).

Saya akan membuka tulisan ini dengan memberikan ilustrasi percakapan seorang penyumbang lagu dengan perwakilan dari grup band pengiring di sebuah pernikahan.

Pak Rudi: “Mas, tolong iringi saya nyanyi lagu ‘Kangen’ Dewa 19, ya…”

Pemain Band: “Waduh saya belum punya izinnya pak, lagu lain aja, ya, pak, saya takut kena denda…”

Pak Rudi: “Kalau gitu lagu nasional saja gimana? Ya kan gak perlu izin ke komposernya, lha wong di sekolah aja diajari…”

Pemain Band: “Waduh jangan pak, ini kan bukan Kodim, saya bisa dikomplain juragan”

Pak Rudi: “Lha gimana dong, mas? Saya kan pengen tampil menyumbang. Masa nyumbang aja ruwet…”

Pemain Band: “Gimana kalau solawat badar saja pak? Kalau itu nabi gak akan komplain. Saya sudah kirimi fateha semalam”

 

Walhasil, merekapun bernyanyi solawat badar, sembari mengiringi para undangan melahap sate kambing dan gule sapi.***

Gambaran ilustrasi di atas memang tampaknya konyol dan mungkin imajinatif bagi anda-anda yang hidup di kota-kota besar dan daerah urban, tapi sebenarnya ia benar-benar hadir dalam mental dan pikiran musisi Madura di kampung halaman saya di Situbondo.

Kemarin, tak lama setelah video Ahmad Dhani ramai di Facebook, teman saya yang berprofesi sebagai tukang elekton dangdut dan spesialis hajatan di Situbondo tiba-tiba menelpon. Sebut saja namanya Cak Arifin. Tampaknya dia ingin bertanya sesuatu hal penting dan genting kepada saya. Kira-kira begini percakapannya.

“Bro, membawakan lagu orang di parlo (hajatan orang Madura) itu kan berarti gak perlu minta izin dulu, kan?”, dia bertanya penasaran. Tampaknya dia terpancing dengan pernyataan musikus kepala pelontos itu.

Lalu saya jawab: “Tergantung lah, bro, kalau pertunjukan itu komersil dan artinya ada perputaran uang yang besar di sana, ya, berarti perlu izin”, jawab saya sambil senyum-senyum culas.

“Wah gawat kalau begitu, soalnya kalau saya pentas hajatan kan banyak yang nyawer bro, orang yang nyumbang lagu itu pasti nyawer, belum lagi kalau permintaan dari ibu-ibu sinoman di dapur dibawakan, bisa panen saweran, ini berarti juga komersil ya?”, dia bertanya lagi dengan perasaan tidak nyaman.

“Waduh, kayaknya iya bro, kamu perlu izin dulu kalau begitu sama yang punya lagu”, saya jawab sambil memancing emosi.

“Misal saya membawa lagu yang penciptanya sudah meninggal gimana? Berarti gak perlu izin-izinan lagi kan?”, dia bertanya lagi ngeyel.

“Kalau meninggalnya 100 tahun boleh dibawain, tapi kalau masih belum, berarti kamu harus izin pada keluarganya”, saya kembali memancing emosi.

“Waduh mana ada lagu dangdut setua itu? Rhoma Irama yang mbahnya dangdut aja belum meninggal kok, eh tapi misal gak ketahuan kan berarti gak papa ya?”, dia kembali ngeyel.

“Di jaman sekarang mana bisa kamu ngumpet?, lha wong hajatan itu pasti direkam, masuk youtube dan tersebar, kalau ketahuan empunya lagu, bisa dituntut kamu”, saya kembali membalas ngeyel. Hehe…

“Lagian ngapain, ya, para artis-artis kaya itu ngotot-ngotot begitu, tingkahnya sudah seperti pak kades yang sok jual mahal, apa-apa kudu izin, minta tanda-tangan, ujung-ujungnya uang kan? Padahal sudah untung lagunya dipromosikan, harusnya dia yang berhutang budi pada musisi”, dia mulai tidak puas dengan jawaban saya.

“Lha makanya kamu juga buat lagu dong, biar bisa seperti mereka!”, saya juga mulai emosi.

“Lho, saya juga sudah buat lagu, bro. Tapi masalahnya kalau saya bawa lagu sendiri, gak ada yang mau nanggap”, dia menjawab dengan nada yang melembut pesimis.

Mendengar jawaban dramatis itu, saya terdiam sejenak, menghela napas panjang sembari membayangkan bagaimana kecamuk perasaan ketakutan dan pesimis menguasai kepalanya. Mungkin beban yang mengendap di benak kepalanya tak sesederhana seperti apa yang saya bayangkan.

Mungkin saja dalam pertanyaan polosnya tersembunyi gambaran anak perempuan yang merengek minta sepatu sekolah. Mungkin juga ada harapan ibu tua renta yang menghabiskan waktunya dengan berbaring seharian di ranjang reyot. Entahlah.

Dalam pikirannya memang tak pernah terlintas soal royalti besar yang sanggup menyejahterakan. Di Situbondo, pencipta lagu dangdut Madura terbiasa menjual lagu dengan sistem jual lepas, sama seperti menjual sayur dan tempe. Bayar di awal, selebihnya tak ada royalti-royaltian.

Anda perlu tahu bahwa profesi musisi hajatan dangdut di Situbondo itu sungguh pekerjaan yang paling mengharukan. Mereka bermain dari jam tujuh pagi tet, hingga pukul sembilan malam tet. Jam kerjanya 14 jam, dengan upah tiap musikus sekitar 50-150 ribu tergantung jumlah sawerannya. Anda berminat? Saya bisa mencarikan job kalau mau.

Dalam satu kali hajatan mereka umumnya membawa 30-40 judul lagu dangdut. Jadi, jika mereka harus meminta izin dan membayar kepada pencipta lagu seperti yang mereka bayangkan, itu artinya mereka sedang ingin mati syahid di jalan kemuliaan musik. Sungguh mulia sekali.

***

Ya, saya tentu paham bahwa regulasi itu tak akan berlaku untuk musisi kelas bawah seperti teman saya di kampung, saya tentu tahu itu. Tapi, mendengar kecemasan mereka, saya jadi ingin membayangkan bagaimana rasanya menjadi mereka.

Saya jadi benar-benar berimajinasi bagaimana jika regulasi semacam ini benar-benar diterapkan sampai level bawah.

 

***

Guna mengamankan musisi liar dan ngeyelan macam teman-teman saya, mungkin negara perlu mendirikan Satuan Korps Polisi Musik yang siap menindak dan menilang para musisi hajatan yang kedapatan membawa lagu tanpa SIM (Surat Izin Mengover).

Di jalanan, kita akan mendapati pemandangan menarik melihat musisi berlarian tunggang langgang sambil menggotong gitar, kendang, speaker dan kabel-kabel karena berkejaran dengan polisi musik akibat kedapatan terciduk tak memiliki SIM.

Lalu, akan muncul profesi baru seperti calo SIM yang sebagian besar dijalankan oleh orang dalam pemerintahan. Mereka ini yang memfasilitasi musisi berkompetensi minim, yang tak punya daya saing, namun punya banyak uang dan relasi untuk menyogok aparat.

Sudah dipastikan, negara juga akan membutuhkan banyak penjara musik untuk mendisiplinkan para musisi hajatan yang tak mampu membayar uang denda dengan jumlah ratusan juta. Karena jumlah mereka ribuan orang, bahkan semakin tahun semakin membengkak populasinya.

Celakalah, bagi musisi macam teman saya, pasti dia akan terbiasa dengan aktivtitas wajib lapor setiap minggu. Dia pasti bosan dengan hukuman menguras bak mandi dan menyedot WC kantor polisi setiap pagi.

Selain itu, negara juga perlu membentuk Satgas Pol PP (Pemberantasan Penjiplakan) untuk memberantas musisi yang berusaha memodifikasi lirik atau notasi musik demi mengelabuhi izin musik. Satgas ini juga bisa dimanfaatkan untuk melakukan patroli blusukan dan pemantauan ke hajatan-hajatan kampung. Mereka siap menggrebek musisi hajatan yang tetep ngeyel bermain musik tanpa izin seperti teman saya tadi.

Akhirnya, jika usaha pendisiplinan militeristik tak sanggup memberantas, maka negara akan mengerahkan peran para kiyai musik, ustadz musik dan para penceramah musik yang siap memperbaiki akhlak-akhlak musisi hajatan yang bengal ini.

Para musisi hajatan mungkin bisa berkelit membawa solawat nabi (seperti ilustrasi awal) di hajatan supaya lolos dari jerat para polisi musik.  

Tapi, siapa yang bisa menjamin jika nanti di akhirat para musisi hajatan ini justru dituntut oleh anak-cucu nabi sekian generasi? Apa gak tambah ribet? Hahaha…

 

1143 x dilihat

Prev Next

Login Member

forgot password?
Kabar Berita
PERJALANAN BUNYI YUDANE

5059 x dilihat