Gamelan Bali Pasca Reformasi
09-10-2018 14:24
Art Music Today
Hari kedua October Meeting "Reconnect" (9/10) juga diisi dengan sebuah diskusi menarik bertajuk New Music for Gamelan: Representasi Karawitan Bali di Era Kontemporer. Materi ini menghadirkan Ricky Irawan, dosen ISI Denpasar. Ia secara umum umum menjelaskan dualisme perspektif antara sebelum dan sesudah mengenal gamelan Bali lebih dekat. Pandangannya menarik perhatian dan turut mengajak para hadirin untuk menceritakan fenomena musik di masing-masing daerahnya. Diskusi ini dilaksanakan di KITASUKA Kitchen dan dimoderatori oleh Arya Deva Suryanegara dari Bali.
Ricky mengawali presentasinya dengan bercerita tentang kondisi Pulau Bali sejak zaman kolonial. Ia mengatakan kebudayaan Bali sejak itu sudah kokoh, hingga Belanda ingin menjadikan kebudayaan Bali dianalogikan sebagai “museum hidup” yang tidak dimodernisasi. Konsep itu baginya masih berkembang sampai beberapa dekade terakhir.
Apabila melihat Bali dari luar terkenal dengan daerah pariwisata, dan memiliki kesenian yang adiluhung. Sebagian orang juga mengetahui semaraknya acara-acara di Bali sebagai ikon keseniannya. Namun dugaan Ricky tidak sepenuhnya benar, karena ia melihat masih terdapat jenis-jenis karya atau kreativitas di Bali yang belum merepresentasikan ciri-khas Bali seutuhnya. Misalnya terdapat beberapa kelompok yang ingin mengembangkan gamelan Bali lebih jauh, namun tidak cukup terwadahi, seperti komponis Wayan Gde Yudane, Dewa Alit, Sang Nyoman Arsawijaya, Wayan Sudirana, dan komposer milenial lainnya.
Pada akhir presentasi, para hadirin pun ikut menanggapi diskusi dengan berbagai komentar, seperti Andrien L’ Honore Naber dari Belanda yang memandang gamelan Bali perlu dikembangkan lebih jauh lagi. Sejalan yang ia lakukan ialah mencoba membawa gamelan ke ranah digital. Andrien pun akan turut berbagi pengetahuan pada diskusi harian (10/10) di Tembi Rumah Budaya (ary/amt/foto: Tika)