14-05-2023 11:04
Art Music Today
Kehadiran orang-orang Eropa di Nusantara telah mempertemukan budaya musik kelompok-kelompok etnik Nusantara dengan budaya musik Eropa. Kontak hubungan tersebut semula terjadi secara terbatas di kalangan kelompok etnis wilayah pesisir, namun kemudian meluas ke wilayah pedalaman (Simatupang, 2013: 41). Di sisi lain, awal dari diseminasi musik Eropa di Hindia-Belanda yang pertama kali di kepulauan Maluku terjadi dimulai sejak abad ke-16 melalui kegiatan para pedagang dan misionaris Kristen Katolik Portugis (Bramantyo, 2004: 62-86).
Memasuki awal abad ke-20 banyak peristiwa terjadi dalam sejarah kehidupan dua keraton di Jawa Tengah yakni Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Kasultanan Yogyakarta (Larson, 1990: 1). Secara khusus, di Keraton Yogyakarta sebagai salah satu pusat budaya Jawa (pusèring bumi) mempunyai fakta sejarah yang menarik. Fakta yang menarik bukan terkait dengan isu politik secara langsung tetapi lebih pada peristiwa seni budaya keraton pada masa lampau.
Menurut beberapa sumber data, pada awal abad ke-20 aktivitas seni-budaya keraton mengalami perubahan dan perkembangan. Salah satu perubahan tersebut terjadi karena faktor budaya lokal berinteraksi dengan budaya asing. Fakta sejarah yang terungkap dalam fenomena aktivitas seni-budaya Keraton Yogyakarta dapat dijumpai dalam seni pertunjukan tari klasik gaya Yogyakarta. Menurut Lindsay, (1991: 16-19), jenis kesenian tari Klasik Keraton Yogyakarta mengalami perkembangan pesat pada era Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939)[1]. Lebih lanjut Lindsay (1991) mengungkapkan bahwa, kehadiran instrumen musik Eropa di Keraton Yogyakarta juga merupakan bagian dari perkembangan seni pertunjukan keraton, bahkan musik Eropa merupakan instrumen ritual-ritual keraton dalam peristiwa budaya bagi masyarakat kerajaan vorstenlanden. Ritual yang dimaksud bukan berarti religius saja tetapi juga ritual keseharian seperti upacara adat, perkawinan, khitanan dan sebagainya. Namun demikian, yang terjadi pada aktivitas musik Eropa di keraton itu hanya bagian kecil dari pengaruh-pengaruh modernisasi di keraton.
Perkembangan seni pertunjukan di Keraton Yogyakarta khususnya seni tari klasik gaya Yogyakarta, tidak dapat dipisahkan dari unsur iringan tarinya. Iringan tari Bedhaya, Srimpi maupun beksan Lawung Ageng, terdapat bagian yang unik pada unsur iringan tarinya, yakni ditambahkan ansambel musik tiup dan genderang Eropa ke dalam gamelan Jawa dimainkan bersama-sama mengiringi tari-tarian di atas. Pada gerakan berbaris entrance dan exit-nya di area pentas[2], dalam iringan tari Bedhaya-Srimpi menggunakan iringan musik gamelan Jawa ditambah ansambel musik tiup dan genderang Eropa, sedangkan pada gerakan tari lainnya hanya diiringi gamelan Jawa saja. Namun demikian menurut data yang diperoleh, beberapa jenis tari Srimpi iringan tari pada gerakan inti tariannya ditambahkan ansambel musik Eropa, seperti Srimpi Pandelori dan Srimpi Muncar. Informasi dari (Kartahasmara, 1990: 191).
Arsip Keraton Yogyakarta berjudul ‘Ngayogyakarta Pagelaran’ yang ditulis R.Ng. Kartahasmara membuka cakrawala dan informasi tentang indikasi konsep estetis penciptaan komposisi-komposisi gendhing mars/gati maupun gending-gendhing beksan Lawung Ageng[3] yang melibatkan ansambel musik Eropa dan gamelan Jawa bersama-sama mengiringi tarian. Dari data ini disebutkan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mempunyai pengaruh besar terhadap konsep estetis seni pertunjukan di Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahannya[4]. Apa yang tersirat dalam Arsip Keraton Yogyakarta itu merupakan bukti bahwa ide penambahan instrumen musik Eropa ke dalam iringan tari tersebut di atas merupakan ide Sultan yang dituliskan melalui sebuah dhawuh Dalem atau perintah sultan (Kartahasmara, 1990: 193).
Sementara itu dalam iringan Beksan Lawung Ageng, ansambel musik tiup dan genderang Eropa juga dipakai untuk mengiringi hampir seluruh gerakan tari dari awal hingga akhir tarian, kecuali pada gerakan sodoran[5] hanya instrumen genderang Eropa saja yang dimainkan bersama instrumen gamelan. Gerakan tari maskulin yang bersinergi dengan karakter gendhing iringannya sangat terasa terutama saat bunyi gamelan Jawa berlaras pélog dimainkan bersama-sama dengan ansambel musik tiup Eropa berupa trumpet, trombone (brass section) dan klarinet, dengan instrumen tambur (genderang Eropa), kadang juga ada instrumen gesek (string section) sebagai additional instruments. Bunyi instrumen perkusi seperti: kendhang Jawa, bedhug, dan tambur memainkan pola ritme yang sama dengan pola permainan kendhangan dhang dhang thung dah, sedangkan instrumen melodi seperti brass section, string section dan klarinet memainkan melodi (balungan) gamelan Jawa.
Pada saat ini pertunjukan tari Bedhaya, Srimpi, maupun Beksan Lawung Ageng tidak hanya dipentaskan untuk acara-acara ritual di dalam keraton saja, tetapi juga bisa dipentaskan untuk acara yang bersifat non-ritual di luar keraton, bahkan pertunjukan tari tersebut kadang dipentaskan untuk acara hiburan resepsi pernikahan maupun acara-acara hajatan seremonial yang digelar oleh warga masyarakat umum.
Penggunaan instrumen musik Eropa dalam iringan tari Bedhaya, Srimpi maupun Beksan Lawung Ageng diduga merupakan pengaruh perkembangan zeitgeist (World spirit) atau semangat zaman pada waktu itu. Ada kemungkinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menginginkan musik untuk iringan tari ditambahkan instrumen-instrumen Eropa seperti trompet, trombone, klarinet, genderang dan biola untuk melengkapi iringan tari. Hal ini dikarenakan adanya semangat zaman waktu itu yakni semangat modernisasi, dimana Belanda menjadi kiblatnya, sudah barangtentu Eropa menjadi kiblat modernisasi itu sehingga adanya perubahan ini dapat dipahami sebagai upaya memodernkan musik Jawa khususnya pada iringan tari keraton.
[1]Seluruh aspek yang mendukung kesenian baik dari gaya penampilan seperti kostum penari, properti untuk pertunjukan wayang wong, gendhing iringan tari dan sebagainya. Hal yang menarik di sini, ada beberapa tarian diiringi dengan gamelan Jawa ditambah ansambel musik Eropa seperti tari Bedhaya dan Srimpi memainkan komposisi gendhing gati atau gendhing mares pada gerakan kapang-kapang, demikian pula pada beksan Trunajaya (Lawung Agêng).
[2] Gerakan berbaris pada tari Bedhaya, Srimpi ketika entance-exit-nya di area pentas ini
disebut kapang-kapang.
[3] Beksan Lawung Ageng merupakan bagian dari Beksan Trunajaya, dalam komposisi Beksan Trunajaya terdiri dari dari beksan Sekar Medura, Lawung Alit dan Lawung Ageng.
[4] Hal tersebut dibuktikan dengan dhawuh Dalem yang dituangkan dalam naskah ‘Ngayogyakarta Pagelaran’ sebagai berikut:
Karsa Dalem njangkepi iringaning kapang-kapang Bedhaya/Srimpi, Beksan Trunajaya, sarta Srimpi Pandelori miwah Srimpi Muncar kanthi tambahing musik gesek/Biola.
(Karsa Dalem/Kehendak Sultan melengkapi iringan Kapang-kapang Bedhaya/Srimpi, beksan Trunajaya, serta Srimpi Pandelori dan Srimpi Muncar dengan tamabahan instrumen musik gesek/ Biola).
[5] Sodoran adalah bagian dari beksan Lawung pada gerakan adu tombak (lawung).
_____________
Menari Dengan Trompet:
Apropriasi Musikal dalam Iringan Tari Keraton Yogyakarta
Penulis: R.M. Surtihadi
Editor: Erie Setiawan
Penyunting: Andri Widi Asmara
Desain Sampul: GagaRoom Design
Tata Letak: Dwi Pratomo
Penerbit: Art Music Today
Alamat Penerbit:
Jaranan RT 02 Panggungharjo, Sewon, Bantul
Daerah Istimewa Yogyakarta 55188
@amtpublisher_
Cetakan Pertama, Mei 2023
INFO: 0895341875712 (Erie)
1127 x dilihat
615 x dilihat
1202 x dilihat
2366 x dilihat
1337 x dilihat
6408 x dilihat
1939 x dilihat
2968 x dilihat
1423 x dilihat
2094 x dilihat
2501 x dilihat
1483 x dilihat
1234 x dilihat
4448 x dilihat
6324 x dilihat
3029 x dilihat
1928 x dilihat
1493 x dilihat
1522 x dilihat
1709 x dilihat
1389 x dilihat
2103 x dilihat
1652 x dilihat
1357 x dilihat
10860 x dilihat
4640 x dilihat
2472 x dilihat
2259 x dilihat
4693 x dilihat
3529 x dilihat
2607 x dilihat
2127 x dilihat
2091 x dilihat
5893 x dilihat
1387 x dilihat
1615 x dilihat
1893 x dilihat
© Copyright 2023 - Art Music Today