23-07-2020 02:56
Art Music Today
Oleh Rangga Purnama Aji
(Komponis, Manajer Program October Meeting 2020)
Artikel ini dibuat dalam rangka menyongsong program OCTOBER MEETING: SOUNDWALK PROJECT 2020, dengan fungsi sebagai pengenalan awal terhadap pemahaman mengenai soundscape dan praktik metode soundwalk. Artikel ini juga merupakan bagian dari tujuan October Meeting – Contemporary Music & Musicians untuk pengembangan pemirsa (audience development) dalam kajian sound studies.
.
Abstrak
Di zaman yang penuh akan kebisingan ini, kehadiran studi mengenai soundscape menjadi sangat penting dalam mengantisipasi hilangnya kepekaan dan kepedulian terhadap peristiwa bunyi yang terjadi di lingkungan sekitar kita (konteks Indonesia).
Edukasi mengenai pendengaran dan soundscape yang cukup langka mengakibatkan kurang tajamnya pendengaran manusia terhadap penelaahan dari keseluruhan konten bunyi yang ada; dari aspek perseptual maupun aspek wujud fisik dari bunyi itu sendiri (audio). Beberapa contoh penelaahan yang dimaksud seperti kesadaran akan kebutuhan desibel yang aman bagi telinga, pemahaman mengenai bahaya dampak dari polusi bunyi yang disebabkan oleh manusia terhadap lingkungan, pengenalan terhadap keunikan bunyi-bunyi dari lokasi tertentu, hingga pembangunan ruang bunyi yang sehat bagi ekosistem.
Sebagai pendukung, salah satu metode edukasi dan studi mengenai soundscape adalah dengan melakukan metode soundwalk. Metode ini berperan sebagai salah satu metode terbuka yang sangat cair, dimana praktik dari metode ini dapat menggunakan instruksi tertentu atau improvisasi dan memungkingkan untuk dilakukan secara perorangan, duet, maupun berkelompok.
Soundscape, Lingkungan dan Pendengaran
Seorang peneliti ekologi manusia dari Indonesia yang bernama Rusli Cahyadi (Kandidat doktor School of Earth and Environmental Sciences di The University of Queensland, Australia) memaparkan banyak contoh kecil dari isu mengenai kurangnya kepekaan dan kepedulian terhadap peristiwa bunyi di dalam artikelnya:
“Cobalah berdiri dipinggir jalan (manapun) di Jakarta, maka kita akan mendengarkan suara yang teramat bising yang berasal dari berbagai sumber. Beberapa sumber yang dengan segera bisa kenali adalah knalpot mobil dan motor (terutama yang telah dimodifikasi atau yang standar untuk lintasan balap), klakson (yang juga bukan lagi standar bawaan kendaraan), sirine (yang tidak hanya terdapat pada mobil ambulan, pemadam kebakaran ataupun mobil patroli polisi; tetapi juga mobil pelat hitam milik “pengawal” menteri, tokoh partai, anggota DPR yang terhormat, mantan pejabat maupun anak-anak mereka serta orang-orang kaya baru. Seakan belum cukup, semuanya masih ditambah lagi dengan teriakan kondektur/kenek angkutan umum, nyanyian maupun teriakan pengamen, pembaca doa hingga panitia pembangunan mesjid maupun pesantren yang kesemuanya tidak lagi merasa cukup dengan suara alami manusia akan tetapi perlu memakai pengeras suara yang bising[1]”.
Menurut Jay Afrisando, seorang komponis dan sonic artist dari Indonesia (Kandidat doktor Komposisi Musik di University of Minnesota, Amerika Serikat) berpendapat:
“Edukasi mengenai pendengaran dan soundscape juga dapat berguna untuk meningkatkan kesadaran manusia akan ekosistem fauna (dan flora). Dengan meningkatkan kualitas dalam mendengarkan, diharapkan kita bisa menciptakan ruang suara yang lebih baik dan berguna bagi hewan dan vegetasi, yang akhirnya bisa membawa kebaikan bagi manusia. Konsep "menciptakan" ruang suara ini juga cukup penting, karena kemudian dapat menjadi langkah nyata dari peningkatan kualitas mendengarkan, dimulai dari hal sederhana seperti apresiasi suara di sekitar hingga menciptakan kebijakan-kebijakan hukum dan sosial yang memihak pada ruang suara yang sehat”[2].
Soundscape
Soundscape adalah bunyi apapun yang berada pada ruang akustik lingkungan tertentu yang dapat ditangkap oleh manusia, melibatkan aspek-aspek persepsi manusia tentang bunyi dan pendengaran. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Östen Axelsson, Catherine Guastavino dan Sarah R. Payne, berdasarkan publikasi bagian satu dari ISO (International Organizations For Standarization) seri 12913 dituliskan definisi terkait dengan soundscape sebagai “lingkungan akustik yang dirasakan atau dialami dan/atau dipahami oleh seseorang atau masyarakat[3]”.
Mereka juga menambahkan fungsi-fungsi soundscape[4] sebagai berikut:
Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa soundscape memiliki bobot kajian audio dan penelaahan gagasan dibalik apa yang terdengar.
Dalam studi mengenai soundscape, terdapat beberapa takaran penilaian umum yang dapat mempengaruhi kualitas dari soundscape yang ditelaah. Nicholas Miller menjelaskan di dalam artikelnya mengenai takaran-takaran nilai pada pengamatan soundscape. Dirinya mengatakan “penilaian terhadap soundscape tergantung atas lokasi spesifik dan wujud visualnya, ragam aktivitas atau kegiatan yang terjadi di lokasi tersebut, ekspektasi dan sejarah personal dari pengamat, konten emosional, budaya dan usia[5]”. Takaran-takaran ini dapat dilihat sebagai bagian dari penilaian terhadap 3 (tiga) objek besar di dalam studi mengenai soundscape (soundscape ecology) yang dikemukakan oleh Bernie Krause[6]. Tiga objek besar tersebut adalah biophony, geophony, dan anthrophony:
Ketiga objek besar tersebut menjadi induk dari banyak pendalaman dari studi mengenai soundscape. Hal ini tentunya dilihat dari pola hubungan antara manusia dengan organisme hidup (flora & fauna), serta faktor alam non-biologis. Pola hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1 sampai 1.3. (.....)
ARTIKEL LENGKAP SILAKAN DIUNDUH DI TAUTAN BERIKUT:
WEBSITE RESMI OCTOBER MEETING:
[1] Cahyadi, Rusli. “Urban Soundscapes: Suara dan Kuasa di Jalanan”. Pusat Penelitian Kependudukan - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Diakses dari http://kependudukan.lipi.go.id/en/population-study/village-town/132-urban-soundscapes-suara-dan-kuasa-di-jalanan. 29 Mei 2020.
[2] Dikutip dari teks pesan Jay Afrisando dengan Penulis secara daring pada tanggal 1 (satu) Juni 2020.
[3] Axelsson, Östen. Catherine Guastavino. Sarah R. Payne. “Editorial: Soundscape Assessment”. Frontiers. Diakses dari https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2019.02514/full. 20 Mei 2020.
[4] Ibid.
[5] Miller, Nicholas. 2013. “Understanding Soundscapes”. Buildings. No. 3., hlm. 729. Diakses dari https://res.mdpi.com/d_attachment/buildings/buildings-03-00728/article_deploy/buildings-03-00728.pdf. 20 Mei 2020.
[6] Pijanowski, Bryan C. Luis J. Villanueva-Rivera. Sarah L. Dumyahn. Almo Farina. Bernie L. Krause. Brian M. Napoletano. Stuart H. Gage. Nadia Pieretti. 2011. “Soundscape Ecology: The Science of Sound in the Landscape”. BioScience. Vol. 62, No. 3., hlm. 204. Diakses dari http://www.edc.uri.edu/nrs/classes/nrs534/NRS_534_readings/Sound2.pdf. 20 Mei 2020.
1054 x dilihat
547 x dilihat
1136 x dilihat
2157 x dilihat
1151 x dilihat
5829 x dilihat
1815 x dilihat
2855 x dilihat
1386 x dilihat
2062 x dilihat
2463 x dilihat
1433 x dilihat
1210 x dilihat
4403 x dilihat
6116 x dilihat
2988 x dilihat
1899 x dilihat
1469 x dilihat
1496 x dilihat
1676 x dilihat
1359 x dilihat
2077 x dilihat
1615 x dilihat
1329 x dilihat
10750 x dilihat
4574 x dilihat
2429 x dilihat
2233 x dilihat
4620 x dilihat
3490 x dilihat
2563 x dilihat
2097 x dilihat
2062 x dilihat
5859 x dilihat
1361 x dilihat
1586 x dilihat
1876 x dilihat
1377 x dilihat
© Copyright 2023 - Art Music Today